Bagaimana hukumnya orang yang menjadi makmumnya ahlul bid’ah? Apakah  diperbolehkan seseorang mendirikan shalat berjamaah di asrama, dengan  alasan masjid terdekat dari asrama imam rawatibnya biasanya melakukan  ritual bid’ah sedangkan masjid yang lain jaraknya jauh? Misalnya, jika  kita berkeyakinan bahwa qunut subuh adalah suatu bid’ah, maka bagaimana  hukumnya jika kita menjadi makmumnya imam yang selalu mengamalkan qunut  subuh, apakah boleh?Jazakallahu khairan
 Abu Abdirrahman
Alamat: Jl. Mulyosari, Surabaya
Email: emailkuxxxx@yahoo.com
 Al Akh Yulian Purnama menjawab:
 Pertama, shalat wajib berjama’ah di masjid hukum asalnya adalah wajib sebagaimana telah dijelaskan oleh Ustadz Kholid Syamhudi,Lc. Hafizhahullah pada artikel Hukum Shalat Berjama’ah Wajib Ataukah Sunnah.
 Kedua, sebagaimana telah diketahui penanya bahwa  membaca doa qunut pada shalat shubuh secara rutin adalah perkara baru  dalam agama. Meskipun memang sebagian Syafi’iyyah dan Malikiyyah  menganggapnya disyariatkan. Penjelasan mengenai hal ini cukup panjang,  namun ringkasnya, pendapat yang benar adalah bahwa hal tersebut termasuk  perkara baru dalam agama dengan alasan berikut:
  - Praktek membaca Doa Qunut yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam  berdasarkan banyak hadits adalah Qunut Nazilah, yaitu doa Qunut yang  dibaca karena adanya musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Dan  Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam mempraktekan hal  tersebut tidak hanya pada shalat shubuh, namun pernah dilakukan pada  seluruh shalat fardhu. Dan beliau tidak merutinkan membaca doa Qunut  pada shalat shubuh meskipun memang praktek Qunut Nazilah yang beliau  lakukan paling sering dilakukan ketika shalat shubuh. Sebagaimana  dijelaskan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah:وكان هديه صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القنوت في النوازل خاصة ، وترْكَه عند عدمها ، ولم يكن  يخصه بالفجر، بل كان أكثر قنوته فيها“Petunjuk dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam  dalam masalah Qunut adalah hanya melakukannya jika terjadi nazilah  (musibah besar) saja. Dan tidak melakukannya jika tidak ada  nazilah. Tidak pula mengkhususkannya pada shalat shubuh, walaupun memang  beliau paling sering membaca Qunut Nazilah ketika shalat shubuh (Zaadul Ma’ad, 1/273)”
  - Terdapat hadits shahih dari Abu Malik bin Sa’id Al Asy-ja’i yang  tegas menunjukkan bahwa membaca qunut pada shalat shubuh secara rutin  tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan  para sahabat:عَنْ أَبِيهِ صَلَّيْتُ خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ أَبِي بَكْرٍ  فَلَمْ يَقْنُتْ ، وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُمَرَ فَلَمْ يَقْنُتْ ،  وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَقْنُتْ وَصَلَّيْتُ خَلْفَ عَلِيٍّ  فَلَمْ يَقْنُتْ ، ثُمَّ قَالَ يَا بُنَيَّ إنَّهَا بِدْعَةٌ } رَوَاهُ  النَّسَائِيّ وَابْنُ مَاجَهْ وَالتِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيثٌ حَسَنٌ  صَحِيحٌ“Dari ayahku, ia berkata: ‘Aku pernah shalat menjadi makmum  Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam namun ia tidak membaca Qunut, Aku  pernah shalat menjadi makmum Abu Bakar namun ia tidak membaca Qunut, Aku  pernah shalat menjadi makmum Umar namun ia tidak membaca Qunut, Aku  pernah shalat menjadi makmum Utsman namun ia tidak membaca Qunut, Aku  pernah shalat menjadi makmum Ali namun ia tidak membaca Qunut. Wahai  anakku ketahuilah itu perkara bid’ah‘” (HR. Nasa-i, Ibnu Majah, At Tirmidzi. At Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”)
Dalam lafadz Ibnu Majah: قُلْت لِأَبِي يَا أَبَتِ إنَّكَ قَدْ صَلَّيْتَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ  وَعَلِيٍّ بِالْكُوفَةِ نَحْوًا مِنْ خَمْسِ سِنِينَ أَكَانُوا يَقْنُتُونَ  فِي الْفَجْرِ ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
 “Abu Malik berkata: ‘Wahai ayah, engkau pernah shalat menjadi  makmum Nabi Shallallahu’alaihi Wassallam, Abu Bakar, Umar, Utsman dan  Ali di kufah selama kurang lebih 5 tahun. Apakah mereka membaca qunut di  shalat shubuh?’. Ayahku berkata: ‘Wahai anakku, itu perkara baru dalam  agama’“
  - Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi  Wassallam membaca qunut di shalat shubuh hingga wafatnya, telah  dijelaskan oleh para ulama bahwa bukan lah maknanya merutinkan qunut,  jika dilihat dari praktek beliau.وَأَمَّا حَدِيثُ أَنَسٍ { مَا زَالَ  رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ  حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا } رَوَاهُ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ : فَفِيهِ  مَقَالٌ ، وَيُحْتَمَلُ : أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ : طُولَ الْقِيَامِ ،  فَإِنَّهُ يُسَمَّى قُنُوتًا“Adapun hadits ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wassallam selalu qunut di shalat shubuh sampai berpisah dengan dunia‘ Hadits Riwayat Ahmad dan lainnya. Tentang makna Qunut  di sini terdapat beberapa pendapat. Dan nampaknya maknanya  adalah beliau shalat shubuh dengan waktu berdiri yang lama. Oleh karena  itu dalam bahasa arab disebut juga Qunut” (Syarhu Muntahal Iradat, 45/2)
  
 Ketiga, mengenai shalat dibelakang imam yang  melakukan bid’ah, selama bukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maka  persoalan ini dibagi menjadi 2 bagian:
 1. Bolehkah dan sahkah shalatnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kami bawakan nasehat yang bagus dari Syaikh Rabi bin Hadi Al Madkhali:
“Jika imam membaca doa qunut di shalat shubuh, maka ikutilah dia. Walau  anda sebagai ma’mum berpendapat berbeda. Bahkan jika anda sebagai ma’mum  menganggap shalat sang imam itu tidak sah menurut mazhab anda, namun  sah menurut mazhab sang imam, anda tetap boleh berma’mum kepadanya.  Karena Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan demikian, beliau bersabda:
 يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أخطؤوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
 “Shalatlah kalian bersama imam, jika shalat imam itu benar,  kalian mendapat pahala. Jika shalat imam itu salah, kalian tetap  mendapat pahala dan sang imam yang menanggung kesalahnnya” (HR. Bukhari no.662)
Jika demikian, maka anda tetap boleh shalat bersama imam tersebut.
 Demikian juga yang dipraktekan oleh para salaf. Suatu ketika Khalifah  Harun Ar Rasyid pergi berhaji lalu singgah di Madinah, kemudian  berbekam. Kemudian ia bertanya kepada Imam Malik: “Aku baru berbekam,  apakah aku boleh shalat tanpa wudhu lagi?”. Imam Malik menjawab:  “Boleh”. Maka beliau pun mengimami shalat tanpa berwudhu lagi.
 Karena menurut mazhab Maliki  Hanafi, bekam dapat membatalkan wudhu, orang-orang bertanya kepada Abu  Yusuf Al Hanafi: “Bagaimana mungkin aku shalat bermakmum pada Khalifah  Harun Ar Rasyid padahal ia belum berwudhu??”. Abu Yusuf berkata: “Subhanallah… Ia Amirul Mu’minin!”
 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga memiliki pendapat dalam hal ini:  “Jika anda bermakmum pada imam yang memiliki perbedaan pendapat dengan  anda dalam masalah sah atau tidaknya shalat. Lalu anda berpendapat bahwa  shalat yang dilakukannya itu tidak sah, namun ia memiliki hujjah dan  dalil bahwa shalat yang ia lakukan sudah sah, maka anda boleh bermakmum  kepadanya. Kecuali jika sang imam menegaskan bahwa ia belum berwudhu,  misalnya ia berkata: ‘Saya belum berwudhu dan saya akan shalat tanpa  wudhu’. Maka shalatnya tidak sah bagi si imam dan tidak sah pula bagi  anda”.
[Sampai di sini perkataan Syaikh Rabi', dinukil dari http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=208]
 Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya juga membuat bab:
 باب إِمَامَةِ الْمَفْتُونِ وَالْمُبْتَدِعِ وَقَالَ الْحَسَنُ صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ
 “Bab berimam kepada orang yang terkena fitnah atau mubtadi. Dan Al  Hasan berkata: ‘Shalatlah bermakmum kepada mereka, sedangkan bid’ah yang  mereka lakukan biarlah mereka yang menanggung’”. Perlu diketahui fiqih  Imam Al Bukhari terdapat pada judul-judul babnya.
 Ringkasnya, anda boleh shalat dibelakang imam yang melakukan  kesalahan dalam shalat semisal membaca doa qunut dalam shalat shubuh  atau semacamnya, selama kesalahan tersebut bukan kesalahan yang secara  ijma ulama dapat membatalkan shalat, seperti tidak berwudhu. Namun tetap  disarankan untuk mencari masjid yang imamnya sesuai atau lebih  mendekati sunnah jika memungkinkan.
 2. Apa yang harus dilakukan?
Jika seseorang bermakmum dibelakang imam yang membaca doa qunut  pada shalat shubuh, yang merupakan bid’ah, apakah ia ikut membaca doa  bersama imam? Ataukah diam saja? Dalam hal ini terdapat perbedaan  pendapat diantara para ulama.
 Pendapat pertama, yaitu mengikuti imam membaca doa  qunut, mengingat perintah untuk mengikuti imam. Sebagaimana pendapat Abu  Yusuf Al Hanafi yang disebutkan dalam Fathul Qadiir (367/2):
 وَقَالَ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ يُتَابِعُهُ ) لِأَنَّهُ تَبَعٌ لِإِمَامِهِ ، وَالْقُنُوتُ مُجْتَهَدٌ فِيهِ
 “Abu Yusuf rahimahullah berpendapat ikut membaca qunut. Karena hal tersebut termasuk kewajiban mengikuti imam. Sedangkan membaca qunut adalah ijtihad imam”
 Dalam Syarhul Mumthi’ Syarh Zaadul Mustaqni’ (45/4) kitab fiqh mazhab Hambali, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
 وانظروا إلى الأئمة الذين يعرفون مقدار الاتفاق، فقد كان الإمام أحمدُ  يرى أنَّ القُنُوتَ في صلاة الفجر بِدْعة، ويقول: إذا كنت خَلْفَ إمام يقنت  فتابعه على قُنُوتِهِ، وأمِّنْ على دُعائه، كُلُّ ذلك مِن أجل اتِّحاد  الكلمة، واتِّفاق القلوب، وعدم كراهة بعضنا لبعض
 “Perhatikanlah para ulama yang sangat memahami pentingnya persatuan. Imam Ahmad berpendapat bahwa membaca qunut  ketika shalat shubuh itu bid’ah. Namun ia berkata: ‘Jika seseorang  shalat bermakmum pada imam yang membaca qunut maka hendaknya ia  mengikuti dan mengamini doanya’. Ini dalam rangka persatuan, dan  mengaitkan hati dan menghilangkan kebencian diantara kaum muslimin”
 Pendapat kedua, diam dan tidak mengikuti imam ketika membaca doa qunut, karena tidak harus mengikuti imam dalam kebid’ahan. Dalam Fathul Qadiir (367/2), kitab Fiqih Mazhab Hanafi, dijelaskan:
 فَإِنْ قَنَتَ الْإِمَامُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ يَسْكُتُ مَنْ خَلْفَهُ عِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ .
 “Jika imam membaca doa qunut dalam shalat shubuh, sikap makmum adalah diam. Ini menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad rahimahumallah“
 Dalam Al Mubdi’ (238/2), kitab fiqih mazhab Hambali dikatakan:
 وذكر أبو الحسين رواية فيمن صلى خلف من يقنت في الفجر أنه يسكت ولا يتابعه
 “Abul Husain (Ishaq bin Rahawaih) membawakan riwayat tentang sahabat  yang shalat dibelakang imam yang membaca qunut pada shalat shubuh dan ia  diam“
 Namun perkara ini adalah perkara khilafiah ijtihadiyah, anda  dapat memilih pendapat yang menurut anda lebih mendekati kepada  dalil-dalil yang ada. Wallahu Ta’ala A’lam, kami menguatkan pendapat  pertama, yaitu mengikuti imam berdoa qunut mengingat hadits tentang  perintah untuk mengikuti imam meskipun imam melakukan kesalahan selama  tidak disepakati oleh para ulama kesalahan tersebut dapat membatalkan  shalat, sebagaimana telah dibahas di atas.
 Yang terakhir, perlu dicamkan bahwa dalam keadaan  ini anda tetap berkewajiban untuk menghadiri shalat berjama’ah di  masjid. Sebagaimana solusi yang disarankan oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal Ifta:
 فإذا كان الإمام يسدل في صلاته ويديم القنوت في صلاة الصبح على ما ذكر  في السؤال نصحه أهل العلم وأرشدوه إلى العمل بالسنة ، فإن استجاب فالحمد  لله ، وإن أبى وسهلت صلاة الجماعة وراء غيره صُلِّيَ خلف غيره محافظةً على  السنة ، وإن لم يسهل ذلك صُلِّيَ وراءه حرصاً على الجماعة ، والصلاةُ  صحيحةٌ على كل حال .
 “Jika imam melakukan sadl atau merutinkan membaca doa qunut ketika  shalat shubuh, sebagaimana yang anda tanyakan, katakan kepadanya bahwa  para ulama menasehatkan dirinya untuk beramal dengan yang sesuai sunnah.  Jika ia setuju, alhamdulillah. Jika ia menolak, maka bila anda dapat  dengan mudah mencari masjid lain, shalatlah di sana. Dalam rangka  menjaga diri agar senantiasa mengamalkan yang sunnah. Jika sulit untuk  mencari masjid lain, maka anda tetap shalat menjadi makmum imam  tersebut, dalam rangka melaksanakan kewajiban shalat berjama’ah” (Fatawa Lajnah Ad Daimah, 7/366)
 Wabillahi At Taufiq.
 ——-